Senin, 12 September 2011

Esai Tentang Jakarta

 Hai! Lumayan lama nggak nge-post. 


Minal aidzin wal faidzin dulu sebelumnya buat semua (Walau Telat)


 Postingan kali ini bercerita tentang sudut pandang gua akan Jakarta. Jadi, awalnya pas gua lagi break kerja, gua nyari makan. Nah biasanya gua makan di deket mesjid, tepatnya deket parkiran. Tapi banyak banget yang masih tutup, akhirnya gua makan nasi gila seharaga Rp 15.000 (mahal juga yah).


 Ini berasa pasca lebaran kali ini lamaa banget. Kira-kira udah dua mingguan setelah lebaran tapi masih banyak yang belom balik ke Jakarta. Para pedagang masih pada tutup, dan di pasar pun belom semua buka. Ini membuat gua bertanya, kenapa?


 Awalnya pikiran gua, mungkin mereka sudah penat dengan Jakarta dan udah nyaman dengan kampungnya. Otak mereka udah mumet dengan kombinasi yang nggak jelas antara gedung mewah dan daerah kumuh yang tak merata. Gua yang udah 18 tahun tinggal di Jakarta aja bosen. Pengen gitu travel ke luar Jakarta.  


 Di sisi lain ternyata ada hambatan finansial. Harga tiket masih mahal. Lagi pula kenapa harus naik sih harganya? Apa hubungannya harga-harga naik dengan lebaran? BBM nggak naik. Apa alasannya?

 Jakarta tanpa pendatang itu ternyata nggak ada apa-apanya. Para pengusaha kebanyakan dari Madura, Malang, Surabaya, Jogja, Tegal, Padang, Makasar dan Batak. Contoh, warung tegal lebih banyak daripada warung soto betawi. Jakarta tanpa Pendatang = Mati.


Bayangkan jika semua pulang kampung. Banyak kesulitan yang kita dapat. Dari nggak adanya pembantu sampe penjabat tinggi. Nggak sedikit pejabat yang kampungnya bukan di Jakarta, tapi ngurusin Jakarta.